Rabu, Januari 30, 2008

And the Guy Who Sent A Valentine Bouquet is... CHIC No. 4, Februari 2008

And The Guy Who Sent A Valentine Bouquet Is…
Cerpen Sukma Wie


Audy selalu memberi kejutan di pagi hari. Apakah itu gosip tentang Mr Estes bos kami yang cool, atau sebuah rush job yang harus selesai sebelum pukul 12.00 a.m teng! Dan itu pasti memancing komentar teman-teman seisi kantor dengan nada yang sama seolah-olah sebuah koor paduan suara: “ha??”, “masa’ siiih??”, “ahh…yang bener?!” “Masa si bule gitu?” atau… “duh, mati gue!”, “apa ngga bisa diundur due midnight?”, “bakalan sport jantung gue pagi ini!”, “gile lo Dy, ngerjain orang pagi-pagi!”

Tapi begitulah. Audy selalu tak mau peduli. Sebagai sekeretaris Mr Estes, katanya ‘dia cuma menjalankan tugas’. Ya, Audy memang sudah terkenal sebagai terminal distribusi tugas-tugas rush job sekaligus gosip center si bos.

Namun pagi ini kejutannya agak berbeda.

“Pagi, Chita!” sapa Audy seperti biasanya, ramah dan misterius-progresif.

“Pagi, Dy!” balasku tak kalah ramah. ”eh, si bule udah datang, blom?” sambungku dengan nada dan volume diturunkan 50%.

“Tenang…si bule blom datang…tapi ada penggantinya,” senyum Audy semakin misterius-progresif.

“Penggantinya? Emang si bule udah ciao?”

”Masih...masih... tapi ini maksud gue bukan pengganti si bule, tapi pengganti gosip tentang si bule.”

”Kejutan atau kutukan?”

”Tergantung cara lo memandangnya...tapi kayaknya lebih deket ke kutukan deh...huehehe...” Audy tertawa ngakak, ”Kutukan manis!” sambungnya seru.

”Ah elo!” aku baru mau beranjak pergi ke mejaku yang berada di ruangan di sebelah ruangan Audy ketika mataku tiba-tiba menangkap benda menarik yang dikeluarkan Audy dari bawah meja. ”Buket dari mana, Dy? Gile, romantis banget! Ada juga yang khilaf mau merhatiin elo hihihi...”

”Ini bukan buat gue, tau...tapi buat elo!”

”Gue??”

“Nih…” Audy menyodorkan buket bunga yang terkemas indah dengan pita pink yang…aduuuuh romantis banget! “…tanpa nama pengirim, tanpa tanda terima, satpam yang bawa kemari…katanya dari seorang cowok…sejak kapan ada cowok yang khilaf merhatiin elo?”

Aku tidak menyimak ucapan dan gurauan Audy. Kepalaku langsung dipenuhi tanda tanya. Siapa yang ‘berani-berani’nya mengirim tanpa mencantumkan nama pengirim dan alamat begini? Pasti kalau bukan teroris, ya manusia gokil yang mau mengerjai aku. Tapi siapa? Hezel yang anak art itu memang suka godain aku, tapi untuk iseng mengirim buket bunga yang (jujur aja menurutku rada-rada norak) seperti ini, kayaknya nggak mungkin deh. Atau Ary yang misterius itu? Atau ini taktik Audy (dan teman-teman) aja yang kurang kerjaan tiba-tiba kesambet pikiran iseng mau mengerjai aku dengan mengarang cerita dikirim sama cowok? (tapi ini bisa aku konfirmasikan ke satpam apa benar). Lantas siapa ya? Semua berpusaran di benakku dan tak satu pun menyimpulkan kepastian. Agaknya aku harus mencari tahu sendiri siapa pelakunya, atau forget it (toh nggak penting-penting amat). Siapapun pengirimnya, yah.. thank you aja deh.

***

Valentine.

Hmmm. Sebuah kata yang manis tapi sekaligus pahit buatku. Manis, karena telah menggoreskan berpuluh musim indah bersama Gibran yang takkan pernah kulupakan. Namun juga pahit, karena di hari istimewa ini pulalah Gibran pergi dari sisiku dengan cara yang amat mengenaskan!

Kenangan itu tak pernah lepas dari ingatanku. Di suatu malam, saat mobil yang dikendarai Gibran menepi di depan sebuah restoran yang akan kami jadikan momen valentine’s date. Ketika Gibran keluar dan berjalan memutari depan mobil untuk membukakanku pintu, mendadak dari arah yang tak terduga melaju sebuah pick-up dalam kecepatan tinggi dan menyerempet tubuh Gibran hingga cowok terkasih itu terlempar beberapa meter membentur trotoar jalan. Refleks aku menjerit, dan seperti ada kekuatan yang membantuku segera keluar dari mobil untuk memburu ke trotoar. Di sana Gibran terkapar berlumuran darah. Aku memeluknya sambil berteriak meminta tolong. Seorang satpam dan beberapa pengunjung restoran ikut berlari mendekat untuk menengok, dan beberapa saat kemudian terdengar suara sirene ambulans mendatangi.

Gibran tak terselamatkan. Tentu saja. Benda tak bernyawa pun akan hancur berkeping bila diserempet dengan kekuatan maha dahsyat seperti itu. Tak henti-hentinya aku mengutuk pengendara pick-up putih yang kabur dan tak bertanggung jawab itu. Apalagi setelah kuketahui polisi ternyata tidak berhasil mengidentifikasi siapa pelaku tabrak lari itu. Dendamku semakin menjadi-jadi. Ingin rasanya aku membalas perbuatannya yang telah merenggut nyawa Gibranku. Berhari-hari aku tenggelam dalam duka yang dalam. Sulit untuk memahami apalagi mempercayainya. Bagaimana mungkin dalam sekejap laki-laki terkasihku itu terenggut di depan mataku, justru di saat kami sedang merayakan sebuah momen spesial yang jutaan pasangan di dunia ini pun sedang merayakannya.

Yani, sahabatku, berkali-kali meyakinkanku bahwa hidup memang tak pernah bisa ditebak arahnya. Karena Sang Pemilik Hidup bisa mengambilnya sewaktu-waktu dengan cara apapun yang Ia kehendaki. Yani terus menabah-nabahkanku dan menguatkanku untuk menerima kenyataan dengan lebih rasional. Yah... Lambat-laun akhirnya aku bisa memahami dan menerima bahwa semua itu kehendak Yang Di Atas. Tapi dendamku tak pernah surut. Aku sulit melupakan kejadian itu, dan terlebih, sulit memaafkan pelakunya. Ingin rasanya aku bertemu dan menggilasnya sampai hancur, seperti ia telah menggilas hancur hati dan masa depanku bersama Gibran.

Ah, Gibranku sayang. Di saat-saat seperti ini aku selalu dipaksa kembali untuk mengenang laki-laki pujaanku itu. Candanya, senyumnya yang hangat, perhatian-perhatiannya yang selalu gentle, semua... Bahkan masih tercium wangi khas Bvlgari Acqua yang selalu meruap dari tubuhnya yang tegap.

”Chita, still working?” tiba-tiba aku dikejutkan oleh Mr Estes yang sudah berdiri di sisiku.

Yes, I have to finish a little job.”

Ok, see you tomorrow,” Mr Estes sudah hendak berbalik menjauh ketika tiba-tiba tubuhnya membalik kembali. “Happy Valentine, Chita,” senyumnya misterius. Si Bule ini cukup menarik sebetulnya, sayang demennya sama cewek-cewek high-class sekelas Tamara atau Luna Maya.

Happy Valentine, Mr Estes,” aku membalasnya dengan ramah sambil memandang senyumnya yang menghilang bersama punggungnya.

Kembali aku menekuri monitor di depanku. Sesungguhnya ’a little job’ yang aku maksud tak lain adalah ’a big thing’ yang sedang menetas di alam kenanganku. Monitor di hadapanku hanyalah sebagai pajangan. Sedikitpun tak tersentuh perhatianku.

Ahh...life goes on...aku pun segera men-shut down komputer dan merapikan mejaku. Aku tidak bisa tenggelam terus-menerus dalam kesedihan sementara waktu terus berlari di hadapanku. Forgive and forget, mungkin sebuah ungkapan ampuh yang bisa menyembuhkan. Akan kucoba.

Aku lalu mematikan AC dan lampu ruangan. Di ruangannya Audy sudah lenyap sejak pukul 5 sore tadi. Dia hanya say goodbye sebentar lantas terbang bersama teman-teman cewek lain. Semua ramai membicarakan topik yang sama: Valentine.

Melewati ruangan berikutnya, aku mengintip Ary yang memandangku misterius. Ia adalah Account Manager paling ’tak terjangkau’ di kantorku. Nggak banyak omong. Ia hanya membalas sapaanku singkat dengan senyum terpendek di dunia, lantas membuntutiku dengan matanya yang tajam. Di lobi aku bertemu Hezel. Seperti biasa, ia selalu menggodaku.

”Pasti nungguin aku ya, makanya sengaja pulang telat,” ucapnya dengan senyumnya yang charming. Sebetulnya kalau aku tidak sedang ’terikat’ sama Gibran, sudah lama kubalas sinyal agresif cowok ini. Apanya coba yang kurang pada dia. Charming, kreatif, perhatian, dan dia punya appeal tersendiri yang jarang ada pada pria lain.

”Kalau iya, kenapa?” balasku menantang.

”Jadi mau nih, pulang bareng?”

”Mau dooong, siapa juga yang nggak mau sama cowok seganteng Hezel.”

Hezel tersenyum sambil menggerakkan tangan ”yess!” di udara beberapa kali.

Aku segera menyambung, ”Tapi barengnya sampe di pintu aja ya.”

”Yaa, Chita...” lenguhnya kecewa.

”Yuk, pulang bareng,” aku mengajak cowok itu yang dengan senang hati menggandeng tanganku sampai pintu. ”Oke, bye...” aku melepaskan genggamannya dan buru-buru mendorong pintu ke luar.

”Chita...” ia masih berdiri penasaran memandangku. ”Happy Valentine...”

Aku cuma menjawabnya dengan senyum sambil mengacungkan jempol. Ia tetap tampak penasaran, seperti sudah merencanakan sesuatu untukku, tapi tak kesampaian. Aku berjalan terus menuju trotoar di depan kantor. Beberapa detik kemudian sebuah taksi berwarna biru mendekat. Aku segera menumpangnya dan meluncur di sela keramaian malam kota. Entah kenapa feel-ku kok di mana-mana seperti serba merah jambu. Ada aura hangat yang menyembul, serasa seisi kota sedang berpesta merayakan Valentine’s Nite. Lampu-lampu reklame seperti menari-nari, bahkan lampu sorot kendaraan tampak berkilau ceria turut menghiasi malam. Terdengar musik romantis, hmmm.. bahkan radio yang diputar sopir taksi pun mendendangkan lagu Valentine-nya Martina McBride.

Tapi lambat-laun, aku merasakan ada suatu keanehan. Sorot lampu dari salah satu kendaraan di belakang taksi terlalu terang dan menyilaukan. Aku menoleh. Sulit melihat jelas siapa, karena terhalang cahaya lampu yang overlighted. Aku menyuruh sopir taksi untuk pindah jalur. Benar, mobil di belakang kami ikut pindah jalur. Hatiku mulai was-was. Apakah mobil di belakang itu sengaja membuntuti atau kebetulan saja?

Akhirnya aku mengambil keputusan mendadak begitu taksi melewati sebuah pusat perbelanjaan yang cukup ramai.

”Pak, stop di sini, Pak.”

”Nggak jadi ke Mampang?”

”Nggak, Pak. Aku mau beli sesuatu.”

Taksi akhirnya berbelok dan berhenti tepat di depan mall. Aku segera turun setelah membayar dan setengah berlari memasuki bangunan penuh cahaya itu. Sempat aku menoleh ke belakang, mobil itu sudah tak kelihatan.

Namun belum sempat aku melangkah lebih ke dalam, tepat di sebuah tikungan yang dibatasi pilar besar, mendadak sesuatu menyentuh lenganku dengan lembut membuat jantungku nyaris melompat.

”Chita?” Sharita tiba-tiba muncul seperti memotong mimpi burukku. ”Mau ke mana? Kok kamu pucat sekali kayak baru ngelihat hantu?”

”Aku... aku... eh, Ta, lagi ngapain?”

”Ya belanja dong...sekalian survey kecil-kecilan...” Sharita adalah karyawan dari divisi strategic planning di agency tempat aku bekerja. Kerjaannya memang melakukan survey konsumen. ”Kamu ngapain?”

”Oh aku juga mo belanja, Ta.”

”Yuk, kalo gitu barengan aja.”

Kami pun berjalan barengan memasuki supermarket, sambil aku diam-diam berusaha menetralisir debar jantungku. Setelah ngobrol sana-ngobrol sini sembari belanja (aku cuma membeli sebuah pembersih wajah untuk stock begitu menyadari sebenarnya aku tidak sedang butuh belanja apa-apa), Sharita mengajak aku pulang bareng dengan mobilnya. Dia akan mengantarku sampai rumah. Tapi ketika tiba di lapangan parkir (atau tepatnya taman terbuka) yang luas, mendadak Sharita seperti diingatkan sesuatu.

”Aduh, aku lupa beli pampers, Chit. Kamu tunggu di mobil aja ya, sebentar kok.”

Aku mengiyakan dengan perasaan tak enak karena sudah merepotkannya. Beberapa saat setelah Sharita menghilang, aku segera melangkah sendiri menuju mobil Sharita yang sudah aku kenal. Namun rupanya aku tak perlu bersusah-payah berjalan jauh, karena di sebuah keremangan lampu yang dinaungi pohon akasia, mendadak sebuah tangan menarikku cukup keras sehingga belum sempat kuteriakkan kata pertolongan, tangannya yang satu sudah membekap mulutku dan setengah menyeret membawaku ke mobil yang terparkir tak jauh dari tempat itu.

”Sebaiknya kau tidak berteriak,” sebuah suara berat mengancamku. ”Karena aku tidak akan mengapa-apakan kamu sepanjang kamu tidak berbuat yang mencurigakan.”

Dalam bekapannya, wajahku mengangguk setuju. Ia lalu melonggarkan bekapannya dan setengah memaksa menyuruhku duduk di jok depan. Setelah menutup pintu, sosok asing itu lalu memutar dan mengambil tempat di depan setir.

”Siapa kau, dan mau kau bawa ke mana aku, apa maumu sebenarnya?” tanyaku beruntun.

Ia hanya melirikku dengan sekilas senyum menyeringai. Astaga, baru kusadari alangkah menariknya wajah ’sang tokoh jahat’ yang barusan membekap dan menculikku dengan paksa ini. Aku makin penasaran. Tapi sikapnya sangat dingin dan cuek.

Ia mulai menyalakan mesin dan menjalankan mobil untuk membawaku entah ke mana.

”Hei, siapa kau dan mau kau bawa ke mana aku?” ahh...sempat terbersit perasaan alangkah beruntungnya aku bertemu dan diculik penjahat terganteng sedunia, tapi pikiran rasional segera menyadarkanku.

”Kau diam saja! Ingat, aku nggak akan ngapa-ngapain kamu selama kamu nggak bikin aku hilang sabar.”

”Hei, gimana mungkin aku nggak bertanya kalau aku nggak kenal kamu dan tiba-tiba...”

”Diaaaaam!!!” bagaikan guntur yang menggelegar suaranya seketika menghentikan seluruh aliran darahku. Kini aku melihat wajahnya pun tegang.

Gugup, aku membuang pandang ke arah jalan dan membiarkannya menyetir tanpa suara. Tapi aku tahu, di balik dadaku, jantung ini mengalahkan debar jantung sprinter tercepat di dunia. Lama terdiam, mataku akhirnya mencuri lirik ke wajahnya. Hmmm, kalau saja dia bukan orang jahat, aku yakin banyak wanita yang bertekuk lutut oleh pesonanya. Aku bahkan hampir tidak bisa membedakan wajah Brad Pitt saat lupa cukuran dengan wajah pria di sampingku ini. Sungguh mempesona dan macho! Tulang rahangnya membentuk garis aristokrat yang kental. Hidungnya mancung kukuh, alisnya lebat dan matanya tajam menghunjam ke depan. Aku memperhatikan otot lengan dan dadanya yang keras. Hei, apakah ilusi pangeran Hollywood benar-benar hadir di depan mata?

Tiba-tiba HP-ku berdering. Aku melirik ke display. Sharita calling.. Aku meliriknya sebentar, dan seperti tahu maksudku, ia segera mengangguk dengan syarat, ”kau tahu apa yang harus kau katakan, jangan macam-macam!”

Aku lalu menjawab panggilan Sharita dan berbohong dengan mengucapkan maaf karena harus terburu-buru pulang. Sharita sempat menanyakan apakah aku baik-baik saja (mungkin ia meraba sebuah getaran tak wajar dalam nada suaraku?), dan aku menjawab I’m fine. Ia lalu say goodbye and take care. Aku kembali melirik si pria asing yang tetap cool mengendarai mobil. Tiba di sebuah restoran, ia melambatkan mobil untuk mencari parkiran. Aku terkejut. Ini kan...?

”Aku ingin mentraktirmu makan,” ucapnya datar seperti dapat membaca pikiranku.

”Tapi... kenapa di sini?”

”Kenapa? Nggak suka? Aku sudah memesan meja...”

”Kau... siapa kau sebenarnya?” tanyaku akhirnya, nggak tahan.

Ia tersenyum sedikit lebar. Masya Allah, baru lebar sedikit begitu saja senyumnya sudah hampir meruntuhkan langit hatiku. ”Anggaplah aku kencan Valentine misteriusmu,” sahutnya enteng. Ia lalu memutar dan membukakanku pintu mobil. Dengan lembut kemudian diraihnya tanganku dan menuntunku ke dalam. Anehnya, aku menurut saja. Antara rasa takjub, penasaran, takut, dan terbius pesonanya berbaur jadi satu.

Benar saja. Di dalam ia sudah menyiapkan meja di ruangan private yang ditata sangat romantis. Aduh, kalau saja ini bukan perangkap, aku sudah meluapkan perasaanku sedemikian rupa. Wanita mana yang takkan tersanjung dijamu seistimewa ini. Tapi begitulah. Ini ibarat istana di celah lembah sunyi dan terpencil. Kami menikmati santapan tanpa suara. Bahkan ketika ia menghampiriku untuk membantu menuangkan minuman dessert sehingga membuatku dapat mencium aroma maskulin tubuhnya, ia hanya membuatku terpaku tak berkutik di tempat.

Lantas beberapa menit kemudian kami pun kembali ke mobil. Aku merasa agak risih ketika tangannya menggenggam mesra tanganku, apalagi beberapa waitress yang memandangku seperti tak percaya cowok seganteng pria ini mau berjalan bersisian denganku yang... astaga, baru aku sadari betapa lusuhnya aku dengan pakaian kerja. Tiba-tiba aku merasa malu sekali. Tapi apa mau dikata. Aku hanya menuruti saja maunya.

Di dalam mobil, tiba-tiba aku tercenung memandang trotoar di depan. Ia (lagi-lagi) seperti dapat membaca pikiranku.

”Maafkan aku, aku nggak bermaksud...” mendadak suaranya terdengar lembut.

Aku meliriknya dan mengangkat tangan. ”It’s ok. Ini nggak ada hubungannya dengan kamu.”

Are you sure?”

Yes, absolutely! Aku punya kenangan pahit di sini, ngngh...pribadi...”

”Gimana kalo ada hubungannya denganku?”

”Maksud kamu?” kini aku memandangnya tak mengerti.

”Chita, maafkan aku. Akulah yang mengirim buket bunga itu. Aku pula yang membuntuti taksimu. Aku...”

”Kau tau namaku??”

Ia mengangguk. ”Aku sepupunya Yani.”

Kini aku makin tercengang. ”Kenapa kau lakukan semua itu?”

”Aku... aku cuma ingin minta maaf.”

What for?”

”Akulah yang menyerempet pacarmu dua tahun lalu...”

Tiba-tiba saja aku merasa seperti mendengar kabar terburuk sepanjang segala abad. Lama aku ternganga sampai tahu-tahu tanganku sudah bergerak memukul dadanya. ”Kamu!” seruku pedih. ”Kamu telah membunuh orang yang paling aku cintai, kamu telah merenggut masa depanku, kamu telah mengambil semua kebahagiaanku, kamu...” suaraku tersekat di tenggorokan. Terlalu banyak yang ingin aku tumpahkan, yang sudah aku pendam bermusim-musim lamanya, dalam kesedihan, dalam dendam, dalam keputusasaan...dan kini aku menemukan muara yang tepat. Ingin sekali aku membunuh makhluk terkutuk di hadapanku ini, tapi yang aku lakukan hanya menangis. Aku terisak tanpa daya.

”Maafkan aku, Chita. Aku merasa berdosa sekali. Apalagi begitu tahu cerita Yani tentangmu, aku merasa tak tahan menanggung rasa bersalah terus-menerus. Akhirnya sebulan lalu aku putuskan cerita ke Yani dan dia marah besar. Sampai aku katakan ingin meminta maaf langsung kepadamu. Tapi aku punya rencana lain. Aku ingin menuntaskan kebahagian yang tak sempat kau nikmati saat malam valentine itu. Aku ingin memberi kamu surprise, yang aku harap bisa menyenangkan kamu. Aku....”

”Aku nggak mengharapkan semua itu!!” tiba-tiba saja suaraku menggelegar. ”Aku ingin kamu segera menyerahkan diri ke polisi!”

”Aku akan lakukan itu. Tapi aku harus mendapatkan dulu pemberian maafmu,” sekonyong-konyong tangannya meraih kepalaku dan memelukku erat-erat membuatku susah bernapas. Aku tenggelam dalam sesak aroma maskulin dadanya.

”Tidak,” bisikku berkeras. ”Aku nggak akan memaafkanmu, sampai kau mengembalikan kebahagiaan yang sudah terenggut bersama orang yang aku cintai.”

”Chita, please,” ucapnya memohon. ”Aku rela melakukan apa saja agar kau mau memaafkanku.”

”Nggak! Kau harus dihukum mati!”

”Kalau itu bisa membuatmu memaafkanku, aku mau...”

”Kamu? Kamu mau dihukum mati?”

Ia mengangguk. Sedikitpun tak ada keraguan di wajahnya. ”Apapun, asal kau mau memaafkanku.”

”Aku...,” keraguan seketika meruak dari sela hatiku. ”Oke... aku memaafkanmu, tapi dengan satu syarat...”

Ia menjauhkan wajahku sebentar. ”Apa?”

”Malam ini juga kau harus serahkan diri ke polisi.”

Ia kembali memelukku erat. ”Oh, terimakasih, Chita. Sekarang bebanku mulai berkurang. Aku akan segera menyerahkan diri...”

”Oke, oke, tapi lepaskan aku.”

”Oh, maaf,” ia segera mengembalikan wajahku ke letak semula dengan hati-hati sekali. He’s so sweet. ”Aku... aku juga minta maaf telah membuatmu takut tadi...”

Aku mengangkat dagu. ”Asal kau segera mengantarkan aku pulang, maafmu kuterima.”

”Oke, bos!” Ia segera menghidupkan mesin.

Dalam perjalanan kami lebih banyak terdiam. Tapi aku tahu, matanya sesekali melirikku (karena aku pun diam-diam meliriknya). Entahlah, perasaanku tiba-tiba gelisah. Aku tahu beberapa menit lagi ia akan segera ke kantor polisi untuk menyerahkan diri. Tapi sikapnya yang penuh perhatian dan pengakuannya yang tulus dan berani itu seperti menumbuhkan sesuatu yang tidak aku mengerti dalam diriku.

Ia mengantarku sampai di depan pintu rumah. Dan ketika punggungnya menjauh, aku merasakan sepotong hatiku pun gugur dan lepas.

”Aku belum tahu namamu,” ucapku sedikit panik seperti akan kehilangan sesuatu.

Ia membalik dan tersenyum, senyum yang pasti membuat banyak wanita bertekuk lutut. ”Panggil aku Reza.” Dan tubuhnya pun menghilang dalam malam.